(Foto: ABCNews)
Seperti kebanyakan murid sekolah dasar, Devon Carrow juga menghabiskan banyak waktu di sekolah untuk belajar dan berjumpa dengan rekan-rekannya. Tapi demi keamanan, Devon tak bisa berada di ruang kelas.
Bocah laki-laki asal West Seneca, New York ini mengidap alergi parah yang dapat membahayakan nyawanya, untuk itu satu-satunya cara agar ia dapat tetap bersekolah adalah dengan 'mewakilkannya' pada sebuah robot remote control setinggi empat kaki bernama VGo.
"Robot ini benar-benar membantu meningkatkan kualitas hidup dan harga dirinya. Meski cukup berbelit, tapi inilah sarana terbaik agar ia dapat berpartisipasi di sekolah," kata ibu Devon, Rene Carrow.
Di jam sekolah, Devon tetap berada di kamarnya, tapi wajahnya akan ditransmisi ke sebuah layar yang ada di atas VGo. Para guru pun bisa memberi Devon pertanyaan, sedangkan Devon juga dapat mengacungkan tangannya bahkan berbagi candaan dengan teman-teman sekelasnya.
Kemudian pada waktu pergantian kelas, Devon dapat menavigasikan robotnya melewati lorong-lorong kelas dan menyapa teman-temannya dalam perjalanan ke kelas berikutnya. Satu-satunya waktu dimana ia tak tampak aktif adalah saat jam makan siang, kelas olahraga atau ketika sinyal internet wireless-nya mati.
Diperkirakan pada bulan Juni ini, Devon akan menyelesaikan tahun pertamanya di sekolah, meski ia tak pernah menginjakkan kakinya di gedung itu.
Sebelum menggunakan robot VGo ini, sang ibu, Carrow mengatakan distrik sekolah lokal memberinya seorang tutor untuk memberinya pelajaran selama satu jam setiap harinya. Tapi dengan datang ke sekolah, meski harus 'diwakili' robot, Carrow mengaku Devon jadi lebih banyak menghabiskan waktunya di kelas dan berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Menurut Devon, yang paling ia sukai di sekolah adalah kelas matematika karena ia suka perkalian.
Devon juga didampingi seorang guru yang akan duduk bersamanya dan memberikan perhatian penuh jika membutuhkannya. Saat ada PR, kakak laki-lakinya akan mengambil tugas tersebut dan keesokan paginya, tugas itu juga diantarkan ke sekolah oleh si kakak.
"Hal ini memberinya tujuan hidup. Ia pun jadi bisa menentukan targetnya dan ketika ia berhasil mencapainya ia merasa luar biasa," kata Carrow.
Menurut Carrow, Devon mengidap alergi kacang, susu, telur dan produk makanan lainnya. Bahkan meski sekolahnya telah melarang segala jenis produk kacang masuk ke area sekolah, Devon masih berisiko terkena shock anafilaktik atau keadaan yang dipicu reaksi alergi yang ditandai dengan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba dan penyempitan saluran pernafasan kemudian menyebabkan penderita jatuh pingsan dan tak sadarkan diri.
"Jika seseorang baru saja terkena minyak kacang di kedua tangannya dan menyentuh Devon atau saat seseorang memakan roti isi selai kacang dan bernafas di depannya, maka hal ini akan membahayakan nyawanya," kisah Carrow seperti dilansir ABCNews, Senin (6/5/2013).
Yang membuat kondisi Devon makin rumit adalah reaksinya terhadap alergen tertentu yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Mungkin saat ini ia bisa mengonsumsi makanan berbahan kedelai setelah sebelumnya alergi pada bahan makanan itu. Begitu pula ketika Devon tahu-tahu harus berhenti makan produk susu setelah mengalami reaksi yang buruk akibat memakan makanan itu, padahal sebelumnya ia baik-baik saja.
Carrow juga mengaku menghindari deterjen atau sabun beraroma karena produk-produk tersebut dapat mengiritasi sistem pernafasan, bahkan menurut Carrow ada beberapa deterjen tertentu yang menyebabkan tenggorokan putranya menutup sehingga ia sulit bernafas.
Akibatnya, Carrow mengatakan Devon sulit melakukan aktivitas layaknya anak normal seperti menginap di rumah teman atau hanya sekedar berkunjung ke rumah teman-temannya.
Namun meski Devon datang ke sekolah dengan 'diwakili' robot, ia dapat berintegrasi dengan lingkungan sekolahnya dengan cepat. Bahkan teman-temannya sering berkunjung ke rumah atau suka mengajaknya 'hangout' bersama anak-anak lain di lorong sekolah.
Dr, Neil Kao, seorang pakar alergi dari Allergic Disease and Asthma Center menjelaskan bahwa anak-anak tak hanya mempunyai insidensi alergi tertinggi tapi juga karena sistem kekebalan mereka masih berkembang sehingga beberapa anak akan memperlihatkan reaksi berbahaya terhadap makanan tertentu yang sebelumnya bisa mereka makan tanpa masalah.
"Pada tahapan ketika sistem kekebalan mereka menjadi disfungsional seperti ini, terkadang dengan tidak berada di sekolah itu jauh lebih baik daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," pungkas Kao yang tidak menangani Devon.