Tapi sebaliknya, bukan berarti orang yang kerap marah itu manusiawi. Sama saja anehnya. Artinya, memang seharusnya kita marah. Cuma, porsi kemarahan itu yang mesti kita tata supaya proporsional. Misalnya, memaki dengan hamdalah, sambil mengelus dada (berulang kali). "Alhamdulillah,Alhamdulillah!".
Ada satu pengalaman. Waktu itu, lebaran. Seperti biasa, saya berkunjung ke Klaten, Jawa Tengah, kampung halaman istri saya. Jamak diketahui bahwa masyarakat Jawa Tengah lemah lembut perangainya. Dulu-dulu sekali, saya beranggapan bahwa mereka adalah masyarakat budaya yang nyaris memiliki amarah. Beda dengan karakter orang Surabaya kebanyakan, seperti saya. Sedikit-sedikit, marah. Minimal, memaki dengan kata-kata khas suroboyoan, yang seperti itu.
Nah, saat itu saya naik bis antarkota antarpropinsi (AKAP) dari Solo ke Surabaya. Bis sesak. Bahkan beberapanya rela berdiri demi bisa ikut perjalanan. Alhamdulillah saya duduk. Tapi, hati saya tidak tenang. Seorang ibu, sekitar 40-an tahun, berdiri persis di samping saya. Di belakangnya, seorang gadis berjilbab, sembari menggandeng tangan ibu itu. Kira-kira anaknya.
Sejak berangkat, saya menunggu kiranya ada penumpang lain, yang lebih muda dari saya, berbaik hati memberikan tempat duduknya untuk ibu dan anak itu. Tapi, sampai beberapa jam meninggalkan Terminal Tirtonadi Solo, tak ada satu pun yang beringsut.
Saya pun ‘mengorkorbankan diri’ untuk ibu itu. “Monggo Bu, duduk di sini”, kata saya.
Saya melirik ke beberapa penumpang. Mereka rupanya memperhatikan ulah saya. Beberapa anak muda berbisik, “Masih ada to orang yang maungasih tempat duduknya. Tak kira cuma ada di iklan”. Suara cekikikan-nya terdengar. Di situlah saya memaki. Cuma saya agak sadar, gak mungkin saya memaki gaya suroboyoan. Saya pun mengelus dada sambil mengucap, “Alhamdulillah, Alhamdulillah!”. Harapan saya, Allah –Tuhan yang saya sembah- melihat ulah hamba-Nya ini. Sesampai di Surabaya saya pun melepas perasaan saya, “Diamput .... tenan, nyuwun ngapuroGusti!”.